archideus bintang balawangak, anak sulung....lahir 16 februari 2007...jadilah bintang
pelangi pujaan hati....
19/05/11
15/05/11
orang baopukang
bapa stefanus lodan making, sesepuh adat lewohala, orang baopukang sedang melakukan ritual adat saat acara penjemputan pembesar dari kabupaten lembata....bapak stef lodan ini ini juga salah satu tua adat yang berkomitmen terhadap pengembangan budaya sebagai sebagai salah satu daya tarik pariwisata dengan membentuk POKDARWIS (kelompok sadar wisata)....
prosesi makan kacang, pesta kacang (weru one), ritual adat ini selalu di lakukan dalam bulan September atau Oktober, esetiap tahun yang di ikuti oleh sebanyak 77 suku, di kampung adat lewohala (salah satu kampung lama di kaki bukit Ile Ape)...dalam bulan september atau Oktober, masyarakat, dari enam desa yakni, Baopukang, Waiwaru, Kimakamak, Muruona, Ohe, Riang bao dan sebagian dari Tanjung bahagia dan tagawiti berbondong-bondong ke kampung lama lewohala untuk melakukan ritual pesta kacang....dan foto di atas adalah salah satu bagian yakni reka uta (makan kacang) di atas koke, oleh suku lamablolu dan serumpunya....koke ini terletak teopat di samping rumah adat suku balawangak...
abang Marzuki Guna (menunggang kuda), menyisir pantai Baopukang....indah nian......dan kampung baopukang di di foto dari bukit wolo rebeng.....(foto-foto ini di ambil dari album foto Baopukang Community)
prosesi makan kacang, pesta kacang (weru one), ritual adat ini selalu di lakukan dalam bulan September atau Oktober, esetiap tahun yang di ikuti oleh sebanyak 77 suku, di kampung adat lewohala (salah satu kampung lama di kaki bukit Ile Ape)...dalam bulan september atau Oktober, masyarakat, dari enam desa yakni, Baopukang, Waiwaru, Kimakamak, Muruona, Ohe, Riang bao dan sebagian dari Tanjung bahagia dan tagawiti berbondong-bondong ke kampung lama lewohala untuk melakukan ritual pesta kacang....dan foto di atas adalah salah satu bagian yakni reka uta (makan kacang) di atas koke, oleh suku lamablolu dan serumpunya....koke ini terletak teopat di samping rumah adat suku balawangak...
abang Marzuki Guna (menunggang kuda), menyisir pantai Baopukang....indah nian......dan kampung baopukang di di foto dari bukit wolo rebeng.....(foto-foto ini di ambil dari album foto Baopukang Community)
orang baopukang
mama tulit dan mama lusia dari kampung baopukang Jontona sedang menghaluskan kapa untuk dijadikan benang sebagai bahan tenunan sarung adat, yang dalam bahasa lamaholot di sebut kwatek atau dalam bahasa orang baopukang di sebut wate....
11/05/11
pelangi
kemarin tanggal 06 mei 2011, kota kupang hujan dari jam 3 sampe hampir jam 6...lalu muncullah pelangi ini....ku suka pelangi...selamat datang pelangi....selalu ku tunggu...engkau sungguh indah.,...menakjubkan...menggugah kalbu...dan selalu di rindukan oleh bintang
pelangi datanglah kepadaku, temani hari-hariku....
pelangi datanglah kepadaku, temani hari-hariku....
salahku..
bila tingkah terpaut salah
dan laku menoreh luka
fanah gelap..tak berbintang
tiada lagi senyuman
pupus harapan
teman….
andai hari ini adalah kemarin
akan kuluruskan lidah
biar hatimu tak membelalak
juga keningmu tak mengernyit
teman…
bolehkah dikau tersenyum untukku…???
biar hanya sekali ini saja
cobalah untuk menoleh
peluk aku…
riduilah aku
karena…
aku masioh di sini
bersama kehampaanku
menunggumu dan dekapanmu
untukku dan sepihku
teman….
maafkan aku, salahku
genggam erat tanganku
nikamti indah hari ini
esok dan lusah
tanpa janji untuk kembali menoreh
laku yang membuatmu terluka…..
*(gerhana)
10/05/11
teluk wai enga, dan kampung bao puke
selat antara hadakewa dan bao puke, di sebut selat waienga...selat yang menjanjikan kehidupan...kampung bao puke di abadikan darri bukit hadatorang, terlihat okang paga wewa matan salah satu tanjung kebangaan orang bao puke dan waiwaru....di tanjung ini pada musim bekarang akan memberikan kenikmatan sendiri dan hasil ikannya (ikan pada...hehehe), di abadikan oleh Herman Jansen
bao puke,
bao puke, atau lebih keren di kenal dengan baopukang, atau Jontona, terletak tepat di kaki gunung Ile Ape...inilah foto yang diabadikan oleh abang saya Herman Jansen, salah seorang putra bao puke, yang sat ini memilih jalan hidup sebagai seorang pelaut, berdomisili di jakarta...lokasi pemotretan dari bukit hadatorang dekat gua maria, woka puke...
09/05/11
kisah bintang...tentang pelangi, 09 mei
hari ini...kisah sembilan mei...
hari yang selalu membuat semua hari-hari hidupku
indah.... penuh cahaya....
cahaya BINTANG yang lahir di hari ini
dua bulan setelah sembilan maret ...hari penuh kisah. penuh cinta
ada BINTANG...lalu GERHANA dan kini PELANGI sedang di pangku mama
ENGKAU hadir dengan indah menghiasi disetiap malam
dengan cahayamu yang genit-genit nakal
menggemaskan...
hadirmu di hari enam belas pebruari... empat tahun yang lalu
membuatku berjalan tak lagi menunduk
Terimakasih BINTANG..karena engkau menjadi BINTANG bagi bintangku...
Membuatku tak sekedar mengerti
Tapi lebih dari memahami arti hidup dan cinta
tak pernah bosan untuk menatapmu...
undanglah PELANGI hadir di waktu senja
agar aku bisa menatap langit saat sore tiba
dan
di hari ini...
kuingin engaku tahu bahwa kuabaikan sgala hasrat untuk selalu menggapaimu
dan pertaruhkan semua ragaku demi dirimu BINTANG.....
tidurlah...tidurlah dipelukku...dan PELUK AKU
hingga kau mimpikan aku...mimpikan mama eto..
mimpikan kita....mimpikan tentang cinta untukmu BINTANG...
jangan lagi bersedih BINTANG
GERHANA sudah membawa kesedihanmu....
BINTANGKU...senyumlah bersama PELANGI
09 mei...hehehehe, menikah....
hari yang selalu membuat semua hari-hari hidupku
indah.... penuh cahaya....
cahaya BINTANG yang lahir di hari ini
dua bulan setelah sembilan maret ...hari penuh kisah. penuh cinta
ada BINTANG...lalu GERHANA dan kini PELANGI sedang di pangku mama
ENGKAU hadir dengan indah menghiasi disetiap malam
dengan cahayamu yang genit-genit nakal
menggemaskan...
hadirmu di hari enam belas pebruari... empat tahun yang lalu
membuatku berjalan tak lagi menunduk
Terimakasih BINTANG..karena engkau menjadi BINTANG bagi bintangku...
Membuatku tak sekedar mengerti
Tapi lebih dari memahami arti hidup dan cinta
tak pernah bosan untuk menatapmu...
undanglah PELANGI hadir di waktu senja
agar aku bisa menatap langit saat sore tiba
dan
di hari ini...
kuingin engaku tahu bahwa kuabaikan sgala hasrat untuk selalu menggapaimu
dan pertaruhkan semua ragaku demi dirimu BINTANG.....
tidurlah...tidurlah dipelukku...dan PELUK AKU
hingga kau mimpikan aku...mimpikan mama eto..
mimpikan kita....mimpikan tentang cinta untukmu BINTANG...
jangan lagi bersedih BINTANG
GERHANA sudah membawa kesedihanmu....
BINTANGKU...senyumlah bersama PELANGI
09 mei...hehehehe, menikah....
TIDAKLAH MEMINTA BANYAK
Wahai anakku …
Surat ini datang dari ibumu, yang selalu dirundung sengsara. Setelah berpikir panjang, ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri ini.
Setiap kali menulis, setiap itu pula gores tulisan ini terhalangi oleh tangis. Dan setiap kali menitikkan air mata, setiap itu pula, hati ini terluka.
Wahai anakku …
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak. Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini, lalu engkau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati ibu, dan telah engkau robek pula perasaannya.
Wahai anakku …
empat puluan tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku.
Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku, dan semua ibu sangat mengerti arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini, sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi ibu.
Semenjak kabar gembira tersebut, aku membawamu sembilan bulan. Tidur, berdiri, makan, dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi, itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku mengandungmu wahai anakku, pada kondisi lemah di atas lemah. Bersamaan dengan itu, aku begitu gembira tatkala merasakan dan melihat terjalan kakimu, atau balikan badanmu di perutku.
Aku merasa puas, setiap aku menimbang diriku, karena bila semakin hari semakin berat perutku, berarti dengan begitu engkau sehat wal afiat di dalam rahimku.
Anakku …
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah tiba pada malam itu, yang aku tidak bisa tidur sekejap pun, aku merasakan sakit yang tidak tertahankan, dan merasakan takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu berlanjut, sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula, aku melihat kematian di hadapanku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia, dan engkau lahir. Bercampur air mata kebahagiaanku dengan air mata tangismu.
Ketika engkau lahir, menetes air mata bahagiaku. Dengan itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku kepadamu semakin bertambah, dengan bertambah kuatnya sakit.
Aku raih dirimu, sebelum ku raih minuman. Aku peluk cium dirimu, sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkongan.
Wahai anakku …
Telah berlalu setahun dari usiamu. Aku membawamu dengan hatiku, memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Sari pati hidupku, kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur, demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya, agar aku selalu melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat, adalah setiap permintaanmu agar aku berbuat sesuatu untukmu. Itulah kebahagiaanku.
Lalu berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, selama itu pula, aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai… menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti… menjadi pekerjamu yang tidak pernah lelah… dan mendoakan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.
Aku selau memperhatikan dirimu, hari demi hari, hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu, wahai anakku…
Tatkala itu, aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan, demi mencari pasangan hidupmu, semakin dekat hari perkawinanmu anakku, semakin dekat pula hari kepergianmu.
Tatkala itu, hatiku serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka. Tangis telah bercampur pula dengan tawa.
Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan… karena engkau telah mendapatkan jodoh… karena engkau telah mendapatkan pendamping hidup… Sedangkan sedih karena engkau adalah pelipur hatiku, yang akan berpisah sebentar lagi dari diriku.
Waktu pun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dengan berat, kiranya setelah perkawinan itu, aku tidak lagi mengenal dirimu.
Senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihanku, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam, seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran, aku benar-benar tidak mengenalmu lagi, karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang ku lewati, hanya untuk melihat rupamu. Detik demi detik ku hitung demi mendengar suaramu. Akan tetapi penantianku seakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu, aku menyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering, aku merasa bahwa engkau yang akan menelponku. Setiap suara kendaraan yang lewat, aku merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi semua itu tidak ada, penantianku sia-sia, dan harapanku hancur berkeping. Yang ada hanya keputus-asaan… Yang tersisa hanya kesedihan dari semua keletihan yang selama ini ku rasakan, sambil menangisi diri dan nasib yang memang ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku…
Ibumu tidaklah meminta banyak, ia tidaklah menagih padamu yang bukan-bukan.
Yang ibu pinta kepadamu:
Jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu.
Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.
Dan ibu memohon kepadamu nak, janganlah engkau pasang jerat permusuhan dengan ibumu.
Jangan engkau buang wajahmu, ketika ibumu hendak memandang wajahmu.
Yang ibu tagih kepadamu:
Jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana, sekalipun hanya sedetik.
Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi. Atau sekiranya terpaksa engkau datang sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.
Anakku…
Telah bungkuk pula punggungku… bergemetar tanganku… karena badanku telah dimakan oleh usia, dan telah digerogoti oleh penyakit… Berdirinya seharusnya telah dipapah… duduk pun seharusnya dibopong…
Akan tetapi, yang tidak pernah sirna -wahai anakku- adalah cintaku kepadamu… masih seperti dulu… masih seperti lautan yang tidak pernah kering… masih seperti angin yang tidak pernah berhenti…
Surat ini datang dari ibumu, yang selalu dirundung sengsara. Setelah berpikir panjang, ibu mencoba untuk menulis dan menggoreskan pena, sekalipun keraguan dan rasa malu menyelimuti diri ini.
Setiap kali menulis, setiap itu pula gores tulisan ini terhalangi oleh tangis. Dan setiap kali menitikkan air mata, setiap itu pula, hati ini terluka.
Wahai anakku …
Sepanjang masa yang telah engkau lewati, kulihat engkau telah menjadi laki-laki dewasa, laki-laki yang cerdas dan bijak. Karenanya engkau pantas membaca tulisan ini, sekalipun nantinya engkau akan remas kertas ini, lalu engkau robek-robek, sebagaimana sebelumnya engkau telah remas hati ibu, dan telah engkau robek pula perasaannya.
Wahai anakku …
empat puluan tahun telah berlalu, dan tahun-tahun itu merupakan tahun kebahagiaan dalam kehidupanku.
Suatu ketika dokter datang menyampaikan tentang kehamilanku, dan semua ibu sangat mengerti arti kalimat tersebut. Bercampur rasa gembira dan bahagia dalam diri ini, sebagaimana ia adalah awal mula dari perubahan fisik dan emosi ibu.
Semenjak kabar gembira tersebut, aku membawamu sembilan bulan. Tidur, berdiri, makan, dan bernafas dalam kesulitan. Akan tetapi, itu semua tidak mengurangi cinta dan kasih sayangku kepadamu, bahkan ia tumbuh bersama berjalannya waktu.
Aku mengandungmu wahai anakku, pada kondisi lemah di atas lemah. Bersamaan dengan itu, aku begitu gembira tatkala merasakan dan melihat terjalan kakimu, atau balikan badanmu di perutku.
Aku merasa puas, setiap aku menimbang diriku, karena bila semakin hari semakin berat perutku, berarti dengan begitu engkau sehat wal afiat di dalam rahimku.
Anakku …
Penderitaan yang berkepanjangan menderaku, sampailah tiba pada malam itu, yang aku tidak bisa tidur sekejap pun, aku merasakan sakit yang tidak tertahankan, dan merasakan takut yang tidak bisa dilukiskan.
Sakit itu berlanjut, sehingga membuatku tidak dapat lagi menangis. Sebanyak itu pula, aku melihat kematian di hadapanku, hingga tibalah waktunya engkau keluar ke dunia, dan engkau lahir. Bercampur air mata kebahagiaanku dengan air mata tangismu.
Ketika engkau lahir, menetes air mata bahagiaku. Dengan itu, sirna semua keletihan dan kesedihan, hilang semua sakit dan penderitaan, bahkan kasihku kepadamu semakin bertambah, dengan bertambah kuatnya sakit.
Aku raih dirimu, sebelum ku raih minuman. Aku peluk cium dirimu, sebelum meneguk satu tetes air yang ada di kerongkongan.
Wahai anakku …
Telah berlalu setahun dari usiamu. Aku membawamu dengan hatiku, memandikanmu dengan kedua tangan kasih sayangku. Sari pati hidupku, kuberikan kepadamu. Aku tidak tidur, demi tidurmu, berletih demi kebahagiaanmu. Harapanku pada setiap harinya, agar aku selalu melihat senyumanmu. Kebahagiaanku setiap saat, adalah setiap permintaanmu agar aku berbuat sesuatu untukmu. Itulah kebahagiaanku.
Lalu berlalulah waktu, hari berganti hari, bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, selama itu pula, aku setia menjadi pelayanmu yang tidak pernah lalai… menjadi dayangmu yang tidak pernah berhenti… menjadi pekerjamu yang tidak pernah lelah… dan mendoakan selalu kebaikan dan taufiq untukmu.
Aku selau memperhatikan dirimu, hari demi hari, hingga engkau menjadi dewasa. Badanmu yang tegap, ototmu yang kekar, kumis dan jambang tipis telah menghiasi wajahmu, telah menambah ketampananmu, wahai anakku…
Tatkala itu, aku mulai melirik ke kiri dan ke kanan, demi mencari pasangan hidupmu, semakin dekat hari perkawinanmu anakku, semakin dekat pula hari kepergianmu.
Tatkala itu, hatiku serasa teriris-iris, air mataku mengalir, entah apa rasanya hati ini. Bahagia telah bercampur dengan duka. Tangis telah bercampur pula dengan tawa.
Bahagia karena engkau mendapatkan pasangan… karena engkau telah mendapatkan jodoh… karena engkau telah mendapatkan pendamping hidup… Sedangkan sedih karena engkau adalah pelipur hatiku, yang akan berpisah sebentar lagi dari diriku.
Waktu pun berlalu, seakan-akan aku menyeretnya dengan berat, kiranya setelah perkawinan itu, aku tidak lagi mengenal dirimu.
Senyummu yang selama ini menjadi pelipur duka dan kesedihanku, sekarang telah sirna bagaikan matahari yang ditutupi oleh kegelapan malam. Tawamu yang selama ini kujadikan buluh perindu, sekarang telah tenggelam, seperti batu yang dijatuhkan ke dalam kolam yang hening, dengan dedaunan yang berguguran, aku benar-benar tidak mengenalmu lagi, karena engkau telah melupakanku dan melupakan hakku.
Terasa lama hari-hari yang ku lewati, hanya untuk melihat rupamu. Detik demi detik ku hitung demi mendengar suaramu. Akan tetapi penantianku seakan sangat panjang. Aku selalu berdiri di pintu hanya untuk menanti kedatanganmu. Setiap kali berderit pintu, aku menyangka bahwa engkaulah orang yang datang itu. Setiap kali telepon berdering, aku merasa bahwa engkau yang akan menelponku. Setiap suara kendaraan yang lewat, aku merasa bahwa engkaulah yang datang.
Akan tetapi semua itu tidak ada, penantianku sia-sia, dan harapanku hancur berkeping. Yang ada hanya keputus-asaan… Yang tersisa hanya kesedihan dari semua keletihan yang selama ini ku rasakan, sambil menangisi diri dan nasib yang memang ditakdirkan oleh-Nya.
Anakku…
Ibumu tidaklah meminta banyak, ia tidaklah menagih padamu yang bukan-bukan.
Yang ibu pinta kepadamu:
Jadikan ibumu sebagai sahabat dalam kehidupanmu.
Jadikanlah ibumu yang malang ini sebagai pembantu di rumahmu, agar bisa juga aku menatap wajahmu, agar ibu teringat pula dengan hari-hari bahagia masa kecilmu.
Dan ibu memohon kepadamu nak, janganlah engkau pasang jerat permusuhan dengan ibumu.
Jangan engkau buang wajahmu, ketika ibumu hendak memandang wajahmu.
Yang ibu tagih kepadamu:
Jadikanlah rumah ibumu, salah satu tempat persinggahanmu, agar engkau dapat sekali-kali singgah ke sana, sekalipun hanya sedetik.
Jangan jadikan ia sebagai tempat sampah yang tidak pernah engkau kunjungi. Atau sekiranya terpaksa engkau datang sambil engkau tutup hidungmu dan engkaupun berlalu pergi.
Anakku…
Telah bungkuk pula punggungku… bergemetar tanganku… karena badanku telah dimakan oleh usia, dan telah digerogoti oleh penyakit… Berdirinya seharusnya telah dipapah… duduk pun seharusnya dibopong…
Akan tetapi, yang tidak pernah sirna -wahai anakku- adalah cintaku kepadamu… masih seperti dulu… masih seperti lautan yang tidak pernah kering… masih seperti angin yang tidak pernah berhenti…
tulisan ini ku abadikan untuk mama eto.. dan mamaku sasilia suling di kampung baopukang
Namaku Bintang
ku kenal dia karena dikenalkan oleh teman kenalanku. “Namaku Bintang” katanya dengan suara yang datar. “Aku Sunirah,” balasku. Dia gagah, tampan, kharismatik, bodinya atletis. Dari cara bicaranya mencerminkan bahwa dia pria yang cerdas. Dia pria idamanku. Sudah satu minggu aku tidak pernah bertemu dengannya sejak dari perkenalanku yang pertama. Aku kangen.
Hari ini dia janji akan bertemu lagi denganku di tempat ini. Dia bilang,“bawa juga temanmu biar suasana lebih ramai.” Tapi aku tidak membawa temanku karena aku ingin berdua saja dengannya, dan aku akan katakan padanya kalau temanku ada urusan yang tidak bisa ditunda.
Tempat ini sangat sepi, sangat pas untuk berduaan, tetapi sudah satu jam aku duduk di sini, dia belum datang juga. Apa dia lupa dengan janjinya? Sudah enam batang rokok aku hisap, dan segelas bir aku habiskan. Aku gelisah.
Nah… itu dia! Dia tidak mengingkari janji. Dia masih seperti dulu, seperti pertama aku kenal. Kali ini dia mengenakan jeans biru, kaos hitam yang dilapisi dengan kemeja kotak-kotak yang lengannya digulung, sampai kira-kira lima centimeter di bawah siku dan kancing kemeja yang dibiarkan terbuka. Aku tertarik.
“Sudah menunggu lama ya?” Tanyanya dengan suara yang berat . Aku diam saja dan tersenyum tipis.
“ Temanmu mana?”
“ Ada urusan yang tidak bisa ditunda.” Jawabku sesuai dengan rencana.
Lalu dia bercerita panjang lebar tentang keadaan politik dan ekonomi di negara ini. Tampaknya dia khawatir dengan bencana berkepanjangan yang dialami bangsa Indonesia. Aku lebih banyak diam dan hanya sesekali mengomentari. Aku lebih senang menyimak dan memperhatikan dia bicara, aku suka memperhatikan gerak–gerik bibirnya yang mengeluarkan pendapat-pendapatnya tentang keadaan negara ini yang sebenarnya aku tak mengerti, dan aku tidak mau ambil pusing. Aku tak peduli.
Bibirnya bagus. Bibir bawahnya tebal tapi tak terlalu tebal, bentuknya jatuh, tapi tak terlalu jatuh. Bibir atasnya tipis tapi tak terlalu tipis. Warnanya merah, tidak kecil dan tidak lebar. Indah sekali! Aku bayangkan berciuman dengannya, bau mulutnya wangi, dia tidak merokok dan tidak minum alkohol. Dia tidak seperti para lelaki yang sering meniduriku di hotel berbintang dengan kasur yang empuk. Mulut mereka bau rokok dan alkohol. Aku muak! Walaupun aku juga merokok dan minum alkohol. Aku benci mereka! Mereka mengkhianati istri mereka dan anak-anak mereka. Jika bukan karena uang, tidak akan kulayani nafsu setan mereka.
Aku terus memperhatikan dia berbicara, tak ingin sedikit pun melepas pandanganku dari menatap wajahnya, terutama bibirnya. Aku tersenyum, aku geli dengan hasrat yang bergejolak di hatiku. Aku gila.
Sepertinya dia sadar bahwa aku terus memandanginya dan sepertinya dia heran dengan senyumku barusan.
“ Ada apa Nir? Ada yang aneh pada diriku?” Dia bertanya sambil memeriksa penampilannya dan keadaan sekelilingnya kemudian bercermin di meja tempat menaruh minuman kami yang kebetulan terbuat dari kaca. Dia tampak kebingungan. Aku tetap tak melepaskan pandanganku darinya. Aku suka dengan kebingungannya, aku senang mempermainkan hatinya.
Lalu dia memandangku. Aku menggelengkan kepalaku tanda tidak ada yang aneh, lalu aku katakan padanya “ Everything is ok!” Agar dia merasa tenang kembali. Dia tersenyum lega kemudian menghirup kopi yang sedari tadi tidak pernah disentuhnya.
“ Lalu kenapa? Kenapa pandanganmu seperti itu kepadaku?”
Aku tersenyum dan menjawab tak sepatah kata pun. Lalu kuberanikan diriku untukmendekatkan wajahku ke wajahnya. Dekat, semakin dekat, dekat sekali. Harum mulutnya semakin terasa di penciumanku. Hangat nafasnya semakin menggetarkan hasratku. Lalu kudekatkan bibirku ke telinganya. Dekat sekali. Pipi kami bersentuhan dan bibirku menyentuh telinganya, lalu kubisikkan, “Aku ingin berciuman denganmu!”
“Why?” Dia bertanya lagi dengan suara yang tetap tenang dan sopan, sepertinya permintaanku itu biasa saja dan bukan permintaan yang amoral.
Aku menjauhkan mulutku dari telinganya dan kembali kudekatkan wajahku ke wajahnya. Tepat di depan wajahnya, “aku suka kamu.” Kukatakan lirih padanya. Kami terdiam sejenak. Suasana kafe semakin sepi. Aku mendekatkan bibirku ke wajahnya, lalu kubuka mulutku pelan-pelan dan kututup mataku dengan lembut. Aku pasrah! Kutunggu sikapnya, kunanti ciumannya.
“Aku tidak mau!” Ucapnya singkat dengan suara yang datar. Aku tidak menyangka dengan ucapannya itu, aku menjauhkan wajahku dari wajahnya. Aku tidak tahu apa yang aku rasakanapakah malu ataukah jengkel. Dia angkuh! Dia munafik! Mengapa dia tidak mau, apa dia tidaktertarik padaku. Aku cantik, tubuhku langsing, putih, mulus, bibirku seksi, bahkan aku primadona di sebuah hotel berbintang. Para pria hidung belang rela membayar tarif yang sangat besar untuk tidur denganku. Ah.. dia munafik!
“ Mengapa?” Tanyaku dengan nada jengkel.
“ Aku sudah punya istri dan anak.”
“ Lalu?”
“ Aku tidak ingin mengkhianati istriku dan memberi contoh yang buruk pada anakku.”
“Anak dan istrimu tidak ada di sini, mereka tidak akan bisa melihat kita.”
“ Tapi Tuhan melihat kita.” Jawabnya datar.
Ah…omong kosong dengan jawabannya itu. Aku tak percaya dengan Tuhan. Tuhan tidak pernah ada, Tuhan hanya khayalan manusia yang sok moralis saja.
“Kalau Tuhan memang melihat kita, coba tunjukkan padaku.”
“ Prak…” dia menamparku. Keras! Sakit! Aku semakin marah, ingin kukumpulkan semua kekuatanku untuk melawannya tetapi aku tidak kuasa. Aku ingin menangis, tetapi aku tidak mau , aku tidak boleh kalah.
“ Mengapa, mengapa kamu menamparku? Kamu marah. Kamu tidak bisa menunjukkan padaku Tuhanmu itu, Ha! Ha..ha..ha..” Aku tertawa mengejek, geli sekali rasanya hati ini. Tapi aku sakit, sakit sekali.
“ Bagaimana rasanya? Sakit? Coba tunjukkan padaku mana sakit itu? bagaimana rupa sakit itu?”
Aku diam. Kepalaku tunduk. Aku tidak bisa menatap wajahnya. Aku marah, semakin marah. Aku tak bisa menjawab pertanyaannya itu.
“ Kenapa diam? Kamu tidak bisa menjawab pertanyaanku. Kamu tidak bisa menunjukkan padaku. Itulah Tuhan, Tuhan tidak bisa dilihat, tapi Dia ada dan hanya bisa dirasakan.”
Bintang pergi setelah memanggil pelayan dan membayar semua pesanan lalu mengucapkan selamat tinggal padaku, dia pergi berlalu meninggalkanku sendiri yang tetap diam dan tunduk tak kuasa untuk mengangkat wajahku. Apa benar yang dikatakannya? Aku bingung, aku tidak tahu. Apa Tuhan bisa dirasakan? Mengapa aku tidak rasakan itu. Kudiam. Lama aku termenung. Tak terasa air mata jatuh membasahi wajahku. Aku gelisah, aku malu, aku takut, takut sekali, sebuah rasa yang pertama kali aku rasakan. Tapi terhadap siapa? Apakah terhadap Bintang, ataukah terhadap Tuhan?
Langganan:
Postingan (Atom)